Alimul Fadhil H. Muhammad Zaini
bin Abdul Ghani al-Banjari (Guru Sekumpul) pernah menyinggung dan
menguraikan pembahasan tentang salah satu tema yang selalu aktual
diperbincangkan dalam dunia tasawuf, yakni wacana tentang ‘Nur Muhammad’
dalam salah satu pengajian beliau di Komplek al-Raudah Sekumpul
Martapura. Untuk membutiri kembali pandangan tentang Nur Muhammad
dimaksud seiring dengan peringatan haul beliau yang ke-5 tahun ini (5
Rajab 1431 H ─ 17 Juni 2010 M) berikut tulisan ini dihadirkan guna
pencerahan.
Apakah yang dimaksud dengan Nur Muhammad tersebut?
Dalam kitab Hikayat Nur Muhammad
diceritakan bahwa tubuh manusia (anak Adam) mengandungi tiga unsur,
yakni jasad, hati dan roh. Di dalam roh terdapat hakikat, di dalam
hakikat tersimpan rahasia, rahasia itulah yang dinamakan makrifah Allah.
Di dalam makrifah pula ada zat yang tidak menyerupai sesuatu pun.
Rahasia atau makrifah Allah ini dinamakan Insan Kamil. Insan Kamil dijadikan dari Nur yang melimpah dari zat Haqq Ta’ala.
Menurut riwayat, sumber cerita
tentang kejadian Nur Muhammad ini bermula dari biografi Nabi Muhammad
yang ditulis oleh Ibnu Ishaq (sejarawan Islam). Dalam biografi tersebut,
Ibnu Ishaq ada mencatat riwayat yang menyatakan bahwa Allah telah
menciptakan Nur Muhammad dan Nur itu telah diwarisi melalui generasi
nabi-nabi hingga ia sampai kepada Abdullah bin Abdul Muthalib dan turun
kepada Nabi Muhammad Saw.
Kemudian terdapat sejumlah hadis
yang menerangkan tentang Nur tersebut, antaranya, “sesungguhnya yang
mula-mula dijadikan oleh Allah adalah cahaya-ku (Nur Muhammad)………”.
Beragam pandangan terhadap hadis
ini, ada yang menyatakan maudhu’ (tertolak), dhaif (lemah), bersumber
dari falsafah Yunani, tetapi ada pula yang menyatakan bahwa riwayat
tersebut boleh diterima karenanya sanadnya bersambung.
Hadis tersebut cukup panjang
matannya dan diringkas sebagai berikut: “Dan telah meriwayatkan oleh
Abdul Razak dengan sanadnya dari Jabir bin Abdullah ra, beliau berkata:
“Ya Rasulullah, demi bapaku, engkau dan ibuku, khabarkanlah daku
berkenaan awal-awal sesuatu yang Allah telah ciptakan sebelum sesuatu!
Bersabda Nabi Saw: “Ya Jabir, sesungguhnya Allah menciptakan sebelum
sesuatu, Nur Nabi-mu daripada Nur-Nya’.
Maka jadilah Nur tersebut
berkeliling dengan Qudrat-Nya sekira-kira yang dihendaki Allah. Padahal
tiada pada waktu itu lagi sesuatu pun; tidak ada lauh mahfuzh, qalam,
sorga, neraka, Malaikat, langit, bumi, matahari, bulan, jin dan manusia;
tiada apa-apa yang diciptakan, kecuali Nur ini.
Dari nur inilah kemudian
diciptakan-Nya qalam, lauh mahfuzh dan Arsy. Allah kemudian
memerintahkan qalam untuk menulis, dan qalam bertanya, “Ya Allah, apa
yang harus saya tulis?” Allah berfirman: “Tulislah La ilaha illallah
Muhammad Rasulullah.” Atas perintah itu qalam berseru: “Oh, betapa
sebuah nama yang indah dan agung Muhammad itu, bahwa dia disebut bersama
Asma-Mu yang Suci, ya Allah.” Allah kemudian berkata, “Wahai qalam,
jagalah kelakuanmu ! Nama ini adalah nama kekasih-Ku, dari Nur-nya Aku
menciptakan arsy, qalam dan lauh mahfuzh; kamu, juga diciptakan dari
Nur-nya. Jika bukan karena dia, Aku tidak akan menciptakan apa pun.”
Ketika Allah telah mengatakan
kalimat tersebut, qalam itu terbelah dua karena takutnya akan Allah dan
tempat dari mana kata-katanya tadi keluar menjadi tertutup, sehingga
sampai dengan hari ini ujung nya tetap terbelah dua dan tersumbat,
sehingga dia tidak menulis, sebagai tanda dari rahasia ilahiah yang
agung.
Maka, jangan seorangpun gagal
dalam memuliakan dan menghormati Nabi Suci, atau menjadi lalai dalam
mengikuti contohnya (Nabi) yang cemerlang, atau membangkang dan
meninggalkan kebiasaan mulia yang diajarkannya kepada kita.………dan
seterusnya.
Bagaimana penjelasan Guru Sekumpul
tentang Nur Muhammad tersebut? Secara ringkas penjelasan beliau
sebagaimana konten materi pengajian yang bertemakan tentang
‘Kesempurnaan’ (penjelasan ini bahkan beliau ulang-ulang tidak kurang
dari tiga kali) boleh diringkaskan sebagai berikut:
Beliau memulai penjelasannya
dengan ungkapan yang sangat dikenal dalam dunia tasawuf, di mana untuk
mengenal Tuhan seseorang harus terlebih dahulu mengenal akan dirinya.
Maksudnya, untuk sampai kepada
pengenalan terhadap Tuhan, menurut Guru Sekumpul haruslah terlebih
dahulu dipahami dua hal. Pertama, ia harus terlebih dahulu mengenal asal
mula akan kejadian dirinya sendiri, dari mana, di mana dan bagaimana ia
dijadikan? Kedua, ia harus terlebih dahulu mengetahui apa sesuatu yang
mula-mula dijadikan oleh Allah Swt. Kedua perkara di atas menjadi
prasyarat kesempurnaan bagi para penuntut (salik) dalam mengenal
(makrifah) kepada Allah.
Adapun yang mula-mula dijadikan
oleh Allah adalah Nur Muhammad Saw yang kemudiannya dari Nur Muhammad
inilah Allah jadikan roh dan jasad alam semesta.
Bermula dari Nur Muhammad inilah
maka sekalian roh (dan roh manusia) diciptakan Allah sedangkan jasad
manusia diciptakan mengikut kepada dan dari jasad Nabi Adam as. Karena
itu, Nabi Muhammad Saw adalah ‘nenek moyang roh’ sedangkan Nabi Adam as
adalah ‘nenek moyang jasad’.
Hakikat dari penciptaan Adam as
sendiri adalah berasal dari tanah (Nur Turab), tanah berasal dari air,
air berasal dari angin, angin berasal dari api, dan api itu sendiri
berasal dari Nur Muhammad.
Sehingga pada prinsipnya roh
manusia diciptakan berasal dari Nur Muhammad dan jasad atau tubuh
manusia pun hakikatnya berasal dari Nur Muhammad. Jadilah kemudian
‘cahaya di atas cahaya’ (QS. An-Nuur 35), di mana roh yang mengandung
Nur Muhammad ditiupkan kepada jasad yang juga mengandung Nur Muhammad.
Bertemu dan meleburlah kemudian
roh dan jasad yang berisikan Nur Muhammad ke dalam hakikat Nur Muhammad
yang sebenarnya. Tersebab bersumber pada satu wujud dan nama yang sama,
maka roh dan jasad tersebut haruslah disatukan dengan mesra menuju
kepada pengenalan Yang Maha Mutlak, Zat Wajibul Wujud yang memberi
cahaya kepada langit dan bumi, dan yang semula menciptakan, sebagaimana
mesranya hubungan antara air dan tumbuhan, di mana ada air di situ ada
tumbuhan, dan dengan airlah segala makhluk dihidupkan (QS. Al-Anbiya
30).
Pengenalan terhadap hakikat Nur
Muhammad inilah maqam atau stasiun yang terakhir dari pencarian akan
makrifah kepada Allah, Martabat Nur Muhammad inilah martabat yang paling
tinggi, dan pengenalan akan Nur Muhammad inilah yang menjadi
‘kesempurnaan ilmu atau ilmu yang sempurna’.
Menarik untuk mengkaji ulang
penjelasan Guru Sekumpul di atas dengan membandingkannya kepada
penjelasan tokoh-tokoh tasawuf yang juga membahas dan menyinggung
tentang wacana ini.
Al-Hallaj yang mencetuskan teori
hulul misalnya menyatakan bahwa Nur Muhammad mempunyai dua bentuk, yakni
Nabi Muhammad yang dilahirkan dan menjadi cahaya rahmat bagi alam
“tidaklah engkau diutus wahai (Muhammad Rasulullah Saw) melainkan
menjadi rahmat bagi seluruh alam” (martabat al-a’yanu’l Kharijiyyah) dan
yang berbentuk Nur (martabat a’yanu’l Thabitah).
Nur Muhammad adalah cahaya
semula yang melewati dari Nabi Adam ke nabi yang lain bahkan berlanjut
kepada para imam maupun wali; cahaya melindungi mereka dari perbuatan
dosa (maksum); dan mengaruniai mereka dengan pengetahuan tentang
rahasia-rahasia Illahi.
Allah telah menciptakan Nur
Muhammad jauh sebelum diciptakan Adam as. Lalu, Allah menunjukkan kepada
para malaikat dan makhluk lainnya, bahwa: “Inilah makhluk Allah yang
paling mulia”. Oleh itu, harus dibedakan antara konsep Nur (Muhammad)
sebagai manusia biasa (seorang Nabi) dan Nur Muhammad secara dimensi
spiritual yang tidak dapat digambarkan dalam dimensi fisik dan realiti.
Menurut sufi, Muhyiddin Ibn
Arabi, Nur Muhammad sebagai prinsip aktif di dalam semua pewahyuan dan
inspirasi. Melalui Nur ini pengetahuan yang kudus itu diturunkan kepada
semua nabi, tetapi hanya kepada Ruh Muhammad saja diberikan jawami
al-qalim (firman universal).
Sedangkan menurut pencetus teori
‘insan kamil’, Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365-1428 M) dalam
karyanya, al-Insan al-Kamil fî Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa’il (Manusia
Sempurna dalam Mengetahui Allah Sejak Awal hingga Akhirnya), menyatakan
bahwa Nur Muhammad memiliki banyak nama sebanyak aspek yang
dimilikinya. Ia disebut ruh dan malak apabila dikaitkan dengan
ketinggiannya.
Tidak ada kekuasaan makhluk yang
melebihinya, semuanya tunduk mengitarinya, karena ia kutub dari segenap
malak. Ia disebut al-Haqq al Makhluq bih, (al-Haqq sebagai alat
pencipta), hanya Allah yang tahu hakikatnya secara pasti. Dia disebut
al-Qalam al-A’la (pena tertinggi) dan al-Aql al-Awal (akal pertama)
karena wadah pengetahuan Tuhan terhadap alam maujud, dan Tuhanlah yang
menuangkan sebagian pengetahuannya kepada makhluk.
Adapun disebut al-Ruh al-Ilahi
(ruh ketuhanan) karena ada kaitannya dengan ruh al-Quds (ruh Tuhan),
al-Amin (ruh yang jujur) adalah karena ia adalah perbendaharaan ilmu
tuhan dan dapat dipercayai-Nya. Oleh itu, menurut Al-Jili, lokus tajalli
al-Haq yang paling sempurna adalah Nur Muhammad. Nur Muhammad ini telah
ada sejak sebelum alam ini ada, ia bersifat qadim lagi azali. Nur
Muhammad itu berpindah dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam
berbagai bentuk para nabi, yakni Adam, Nuh, Ibrahim, Musa hingga dalam
bentuk nabi penutup (khatamun nabiyyin), Muhammad Saw.
Banyak lagi penjelasan dan
pembahasan tentang Nur Muhammad dimaksud. Karena, memang sejak awal
kedatangan dan perkembangan Islam di ‘Bumi Nusantara’, wacana Nur
Muhammad dalam berbagai konteksnya sehingga sekarang, telah menarik
perhatian umat Islam. Hal ini paling tidak didukung oleh tiga faktor.
Pertama, terlihat dari banyaknya
salinan yang beredar pada masa itu berkenaan dengan ‘Hikayat Nur
Muhammad’ Misalnya, Hikayat Nur Muhammad naskah Betawi yang disalin pada
tahun 1668 M oleh Ahmad Syamsuddin Syah. Menurut Ali Ahmad (2005)
sehingga sekarang, sekurang-kurangnya terdapat tujuh versi Hikayat Nur
Muhammad.
Kedua, apresiasi terhadap konsep
Nur Muhammad telah mendorong lahirnya karya klasik ulama Nusantara yang
secara khusus berisikan pembahasan tentang teori ini. Antaranya adalah
kitab Asrar al-Insan fi Makrifah al-Ruh wa al-Rahman karya Nuruddin
al-Raniri (Aceh), tiga kitab karangan Hamzah Fansuri (Barus-Aceh); Asrar
al-‘Arifin, Syarab al-‘Asyiqin, dan al-Muntahi, serta Nur al-Daqa’iq
oleh Syamsuddin al-Sumaterani (Pasai).
Dalam kitab Asrar al-Insan
dijelaskan bahwa Allah menjadikan Nur Muhammad dari tajalli
(manifestasi) sifat Jamal-Nya dan Jalal-Nya, maka jadilah Nur Muhammad
itu khalifah di langit dan di bumi; Nur Muhammad adalah asal segala
kejadian di langit dan di bumi. Di dalam kitab Asrar al-’Arifin
dibincangkan teori wahdah al-wujud yang semula diperkenalkan oleh
Abdullah Arif dalam Bahr al-Lahut dan Ibnu Arabi, kemudian dikembangkan
lagi oleh Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri melalui teori Martabat
Tujuh dalam kitab Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi. Kemudian, dalam
al-Muntahi, Hamzah menyatakan bahwa wujud itu satu yaitu wujud Allah
yang mutlak. Wujud itu bertajalli dalam dua martabat; ahadiyah dan
wahidiyah. Dalam kitab Nur al-Daqa’iq juga dibahas tentang wujudiyah dan
martabat tujuh.
Variasi teori Nur Muhammad dalam
bentuk martabat tujuh boleh didapati pembahasannya dalam beberapa kitab
yang ditulis oleh ulama Melayu Nusantara, antaranya adalah dibahas
dalam kitab Siyarus Salikin yang dikarang oleh Syekh Abdul Shamad
al-Palimbani; kitab Manhalus Syafi (Uthman el-Muhammady, 2003) yang
dikarang oleh Syekh Daud bin Abdullah al-Fathani; Pengenalan terhadap
Ajaran Martabat Tujuh yang dikarang atau dinukilkan kepada Syekh Abdul
Muhyi Pamijahan; dan kitab al-Durr al-Nafis yang di karang oleh Syekh
Muhammad Nafis al-Banjari. Oleh itu, Syekh Muhammad Nafis al-Banjari
dengan kitabnya Al-Durr al-Nafis ditegaskan oleh Wan Mohd Shagir
Abdullah (2000) sebagai salah seorang ulama Banjar penganjur ajaran
tasawuf Martabat Tujuh di Nusantara.
Dalam teori martabat tujuh
dipahami bahwa dunia manusia merupakan dunia perubahan dan pergantian,
tidak ada sesuatu yang tetap di dalamnya. Segalanya akan selalu berubah,
memudar, dan setelah itu akan mati. Oleh karena itulah, manusia ingin
berusaha mengungkap hakikat dirinya agar dapat hidup kekal seperti Yang
Menciptakannya. Untuk mengungkap hakikat dirinya, manusia memerlukan
seperangkat pengetahuan batin yang hanya dapat dilihat dengan mata hati
yang ada dalam sanubarinya. Seperangkat pengetahuan yang dimaksud adalah
ilmu ma‘rifatullah.
Ilmu ma’rifatullah merupakan
suatu pengetahuan yang dapat dijadikan pedoman bagi manusia untuk
mengenal dan mengetahui Allah. Ilmu ma‘rifatullah terbahagi menjadi dua
macam, yaitu ilmu ‘makrifat tanzih’ (transeden) dan ‘ilmu makrifat
tasybih’ (imanen). Tuhan menyatakan diri-Nya dalam Tujuh Martabat, yaitu
martabat pertama disebut martabat tanzih (la ta‘ayyun atau martabat
tidak nyata, tak terinderawi) dan martabat kedua sampai dengan martabat
ketujuh disebut martabat tasybih (ta‘ayyun atau martabat nyata,
terinderawi).
Yakni, martabat Ahadiyyah
(ke-’ada’-an Zat yang Esa); martabat Ahadiyyah (ke-’ada’-an Zat yang
Esa); martabat Wahidiyyah (ke-’ada’-an asma yang meliputi hakikat
realitas keesaan); Keempat, martabat Alam Arwah; martabat Alam Mitsal;
martabat Alam Ajsam (alam benda); dan martabat Alam Insan.
Ketujuh proses perwujudan di
atas, keberadaannya terjadi bukan melalui penciptaan, tetapi melalui
emanasi (pancaran). Untuk itulah, antara martabat tanzih (transenden
atau la ta‘ayyun atau martabat tidak nyata) dengan martabat tasybih
(imanen atau ta‘ayyun atau martabat nyata) secara lahiriah keduanya
berbeda, tetapi pada hakikatnya keduanya sama.
Seorang Sâlik yang telah
mengetahui kedua ilmu ma‘rifatullah, baik Ma‘rifah Tanzih (ilmu yang tak
terinderawi) maupun Ma‘rifah Tasybih (ilmu yang terinderawi), ia akan
sampai pada tataran tertinggi, yaitu tataran rasa bersatunya manusia
dengan Tuhan atau dikenal dengan sebutan Wahdatul-Wujûd.
Uraian tersebut dapat
dianalogikan dengan air laut dan ombak. Air laut dan ombak secara
lahiriah merupakan dua hal yang berbeda, tetapi pada hakikatnya ombak
itu berasal dari air laut sehingga keduanya merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat terpisah.
Ketiga, di Nusantara, Hikayat Nur
Muhammad merupakan teks yang populer sekitar abad ke-14 M. Ini
dibuktikan dengan tersebar luasnya kitab yang berjudul Tarjamah Maulid
al-Mustafa bertahun 1351 M (Ali Ahmad, 2005), dan disinggungnya wacana
ini dalam kitab Taj al-Muluk, Qishah al-Anbiya, Bustan al-Salatin, atau
Hikayat Ali Hanafiah.
Membandingkan apa-apa yang
digambarkan oleh Guru Sekumpul berkenaan dengan Nur Muhammad dengan
uraian-uraian ulama terdahulu tampaknya tidak jauh berbeda sebagaimana
pandangan umum para sufi dalam melihat Nur Muhammad sebagai yang terawal
diciptakan dan kemudiannya menjadi sumber dari segala penciptaan.
Di samping itu, menurut Guru
Sekumpul maqam Nur Muhammad adalah maqam paling tinggi dari pencarian
dan pendakian sufi menuju makrifah kepada Allah, tiada lagi maqam atau
stasiun paling tinggi sesudah ini. Kesimpulannya, berbahagialah
orang-orang yang dapat menyandingkan penyatuan sumber asal mula
penciptaannya dalam satu harmoni, yakni Nur Muhammad, sebab ia berada
pada satu kedudukan yang tinggi dan terbukanya segala hijab yang
membatasinya.
Penciptaan Ruh Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Saat Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengeluarkan keputusan Ilahiah untuk mewujudkan makhluq, Ia pun
menciptakan Haqiqat Muhammadaniyyah (Realitas Muhammad –Nuur Muhammad)
dari Cahaya-Nya. Ia Subhanahu wa Ta’ala kemudian menciptakan dari
Haqiqat ini keseluruhan alam, baik alam atas maupun bawah. Allah
Subhanahu wa Ta’ala kemudian memberitahu Muhammad akan Kenabiannya,
sementara saat itu Adam masih belum berbentuk apa-apa kecuali berupa ruh
dan badan. Kemudian darinya (dari Muhammad) keluar tercipta
sumber-sumber dari ruh, yang membuat beliau lebih luhur dibandingkan
seluruh makhluq ciptaan lainnya, dan menjadikannya pula ayah dari semua
makhluq yang wujud.
Dalam Sahih Muslim, Nabi (SAW)
bersabda bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menulis Taqdir seluruh
makhluq lima puluh ribu tahun (dan tahun di sisi Allah adalah berbeda
dari tahun manusia, peny.) sebelum Ia menciptakan Langit dan Bumi, dan
`Arasy-Nya berada di atas Air, dan di antara hal-hal yang telah tertulis
dalam ad-Dzikir, yang merupakan Umm al-Kitab (induk Kitab), adalah
bahwa Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam adalah Penutup para Nabi. Al
Irbadh ibn Sariya, berkata bahwa Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam
bersabda, “Menurut Allah, aku sudah menjadi Penutup Para Nabi, ketika
Adam masih dalam bentuk tanah liat.”
Maysara al-Dhabbi (ra) berkata
bahwa ia bertanya pada Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam, “Ya
RasulAllah, kapankah Anda menjadi seorang Nabi?” Beliau sall-Allahu
‘alayhi wasallam menjawab, “Ketika Adam masih di antara ruh dan
badannya.”
Suhail bin Salih Al-Hamadani
berkata, “Aku bertanya pada Abu Ja’far Muhammad ibn `Ali radiy-Allahu
‘anhu, `Bagaimanakah Nabi Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam bisa
mendahului nabi-nabi lain sedangkan beliau akan diutus paling akhir?”
Abu Ja’far radiy-Allahu ‘anhu menjawab bahwa ketika Allah menciptakan
anak-anak Adam (manusia) dan menyuruh mereka bersaksi tentang Diri-Nya
(menjawab pertanyaan-Nya, `Bukankah Aku ini Tuhanmu?’), Muhammad
sall-Allahu ‘alayhi wasallam-lah yang pertama menjawab `Ya!’ Karena itu,
beliau mendahului seluruh nabi-nabi, sekalipun beliau diutus paling
akhir.”
Al-Syaikh Taqiyu d-Diin Al-Subki
mengomentari hadits ini dengan mengatakan bahwa karena Allah Ta’ala
menciptakan arwah (jamak dari ruh) sebelum tubuh fisik, perkataan
Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam “Aku adalah seorang Nabi,” ini
mengacu pada ruh suci beliau, mengacu pada hakikat beliau; dan akal
pikiran kita tak mampu memahami hakikat-hakikat ini. Tak seorang pun
memahaminya kecuali Dia yang menciptakannya, dan mereka yang telah Allah
dukung dengan Nur Ilahiah.
Jadi, Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah mengaruniakan kenabian pada ruh Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam
bahkan sebelum penciptaan Adam; yang Ia telah ciptakan ruh itu, dan Ia
limpahkan barakah tak berhingga atas ciptaan ini, dengan menuliskan nama
Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam pada `Arasy Ilahiah, dan
memberitahu para Malaikat dan lainnya akan penghargaan-Nya yang tinggi
bagi beliau (sall-Allahu ‘alayhi wasallam). Dus, Haqiqat Nabi Muhammad
sall-Allahu ‘alayhi wasallam telah wujud sejak saat itu, meski tubuh
ragawinya baru diciptakan kemudian. Al Syi’bi meriwayatkan bahwa seorang
laki-laki bertanya, “Ya RasulAllah, kapankah Anda menjadi seorang
Nabi?” Beliau menjawab, “ketika Adam masih di antara ruh dan badannya,
ketika janji dibuat atasku.” Karena itulah, beliau (sall-Allahu ‘alayhi
wasallam) adalah yang pertama diciptakan di antara para Nabi, dan yang
terakhir diutus.
Diriwayatkan bahwa Nabi
(sall-Allahu ‘alayhi wasallam) adalah satu-satunya yang diciptakan
keluar dari sulbi Adam sebelum ruh Adam ditiupkan pada badannya, karena
beliau (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) adalah sebab dari diciptakannya
manusia, beliau (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) adalah junjungan mereka,
substansi mereka, ekstraksi mereka, dan mahkota dari kalung mereka.
`Ali ibn Abi Thalib
karram-Allahu wajhahu dan Ibn `Abbas radiy-Allahu ‘anhu keduanya
meriwayatkan bahwa Nabi (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) bersabda, “Allah
tak pernah mengutus seorang nabi, dari Adam dan seterusnya, melainkan
sang Nabi itu harus melakukan perjanjian dengan-Nya berkenaan dengan
Muhammad (sall-Allahu ‘alayhi wasallam): seandainya Muhammad (SAW)
diutus di masa hidup sang Nabi itu, maka ia harus beriman pada beliau
(sall-Allahu ‘alayhi wasallam) dan mendukung beliau (sall-Allahu ‘alayhi
wasallam), dan Nabi itu pun harus mengambil janji yang serupa dari
ummatnya.
Diriwayatkan bahwa ketika Allah
SWT menciptakan Nur Nabi kita Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam, Ia
Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan padanya untuk memandang pada nur-nur
dari Nabi-nabi lainnya. Cahaya beliau melingkupi cahaya mereka semua,
dan Allah SWT membuat mereka berbicara, dan mereka pun berkata, “Wahai,
Tuhan kami, siapakah yang meliputi diri kami dengan cahayanya?” Allah
Subhanahu wa Ta’ala menjawab, “Ini adalah cahaya dari Muhammad ibn
`Abdullah; jika kalian beriman padanya akan Kujadikan kalian sebagai
nabi-nabi.” Mereka menjawab, “Kami beriman padanya dan pada
kenabiannya.” Allah berfirman, “Apakah Aku menjadi saksimu?” Mereka
menjawab, “Ya.” Allah berfirman, “Apakah kalian setuju, dan mengambil
perjanjian dengan-Ku ini sebagai mengikat dirimu?” Mereka menjawab,
“Kami setuju.” Allah berfirman, “Maka saksikanlah (hai para Nabi), dan
Aku menjadi saksi (pula) bersamamu.”(QS 3:81).
Inilah makna dari firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala. “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian
dari para nabi: `Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa
kitab dan hukmah, kemudian datang kepadamu seorang Rasul yang
membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh
beriman kepadanya dan menolongnya.’” (QS 3:81).
Syaikh Taqiyyud Diin al-Subki
mengatakan, “Dalam ayat mulia ini, tampak jelas penghormatan kepada Nabi
(sall-Allahu ‘alayhi wasallam) dan pujian atas kemuliaannya. Ayat ini
juga menunjukkan bahwa seandainya beliau diutus di zaman Nabi-nabi lain
itu, maka risalah da’wah beliau pun harus diikuti oleh mereka. Karena
itulah, kenabiannya dan risalahnya adalah universal dan umum bagi
seluruh ciptaan dari masa Adam hingga hari Pembalasan, dan seluruh Nabi
beserta ummat mereka adalah termasuk pula dalam ummat beliau sall-Allahu
‘alayhi wasallam. Jadi, sabda sayyidina Muhammad (sall-Allahu ‘alayhi
wasallam), “Aku telah diutus bagi seluruh ummat manusia,” bukan hanya
ditujukan bagi orang-orang di zaman beliau hingga Hari Pembalasan, tapi
juga meliputi mereka yang hidup sebelumnya. Hal ini menjelaskan lebih
jauh perkataan beliau, “Aku adalah seorang Nabi ketika Adam masih di
antara ruh dan badannya.” Berpijak dari hal ini, Muhammad (sall-Allahu
‘alayhi wasallam) adalah Nabi dari para nabi, sebagaimana telah pula
jelas saat malam Isra’ Mi’raj, saat mana para Nabi melakukan salat
berjama’ah di belakang beliau (yang bertindak selaku Imam). Keunggulan
beliau ini akan menjadi jelas nanti di Akhirat, saat seluruh Nabi akan
berkumpul di bawah bendera beliau.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar